Langsung ke konten utama

Ketika Sepi Tak Lagi Menakutkan


karena tak semua kesunyian harus dihindari

Dulu, aku takut sepi.
Takut berada sendiri di kamar yang terlalu hening,
takut makan sendirian di tengah keramaian,
takut berjalan tanpa suara langkah lain di sampingku.

Sepi selalu terasa seperti kekalahan.
Seperti ditinggalkan,
seperti tak cukup berarti untuk ditemani.

Aku tumbuh dengan pikiran bahwa bahagia itu harus ramai.
Harus ada tawa yang bersahutan,
chat yang terus berdenting,
dan jadwal yang penuh oleh pertemuan.

Tapi kemudian hidup mengajarkanku pelan-pelan…
bahwa tidak semua yang sendiri itu kesepian.
Dan tidak semua keheningan harus ditakuti.

Karena sepi juga bisa jadi tempat istirahat.
Tempat di mana aku bisa mendengar suara hatiku sendiri,
yang selama ini tenggelam oleh bising dunia.

Di dalam sepi, aku belajar bernapas lebih pelan.
Belajar menangis tanpa merasa lemah,
belajar memeluk diriku sendiri,
tanpa berharap orang lain yang datang duluan.

Sepi mengajarkanku menjadi utuh—
tanpa harus bergantung pada kehadiran siapa pun.

Kini aku tahu,
sepi bukan musuh.
Dia hanya ruang kosong yang memberi tempat bagi luka untuk sembuh.
Bagi hati untuk bicara,
dan bagi jiwa untuk kembali ke dirinya sendiri.

Dan ketika aku mulai berdamai dengannya,
sepiku berubah jadi taman.
Tak ramai, tapi damai.
Tak penuh, tapi cukup.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Rasa yang Gak Pernah Sempat Diucap

 Kadang, ada hal-hal yang cuma bisa dipendam. Bukan karena gak penting, tapi karena gak tahu harus mulai dari mana. Kadang, ada hal-hal yang cuma bisa dipendam. Bukan karena gak penting, tapi karena gak tahu harus mulai dari mana. Dan lebih dari itu… gak tahu apakah orang lain bakal ngerti atau nggak. Pernah gak sih, ngerasa kayak kamu pengin banget cerita—tapi mulutmu kaku, hatimu ragu, dan kepalamu sibuk nyari kata yang tepat? Akhirnya gak ada yang keluar. Yang ada cuma senyum tipis dan “gak papa kok” yang sebenarnya gak pernah jujur. Kita mungkin sering ada di situ. Di antara kata yang gak selesai, dan rasa yang keburu tenggelam. Ada rindu yang cuma bisa ditulis diam-diam. Ada kecewa yang cuma bisa disimpan karena takut dibilang drama. Ada sayang yang cuma bisa dipeluk dalam doa, bukan di peluk nyata. Dan yang paling menyakitkan mungkin… saat kamu sadar, kamu udah terbiasa gak di-dengerin. Jadi kamu berhenti nyoba. Di luar, mungkin keliatan baik-baik aja. Tapi dalemnya? Ribut. R...

Hati Bicara dalam Diam

karena tak semua yang terasa bisa diucapkan Ada kalanya mulut tak bicara, tapi hati tak pernah berhenti bersuara. Dalam diam yang panjang, dalam tatap kosong yang kau kira biasa, sebenarnya hati sedang ramai. Ramai oleh rasa yang tak tahu harus dibawa ke mana. Kita diajari untuk kuat, untuk tegar, untuk terlihat baik-baik saja. Tapi siapa yang mengajari kita cara menangis tanpa merasa lemah? Cara jujur tanpa takut dianggap terlalu rapuh? Hati bicara, tapi tak dengan kata-kata. Ia bicara lewat napas yang berat, mata yang sembab tapi disangkal, senyum yang terlalu tipis untuk disebut bahagia. Ketika kamu merasa sesak tapi tidak tau mengapa? Kangen sesuatu yang bahkan gak jelas bentuknya? Ingin cerita, tapi gak tahu mulai dari mana? Itu hati, lagi bicara. Pelan-pelan, dalam bahasa yang cuma kamu yang paham. Kadang, diam bukan karena tak ada yang ingin dikatakan. Justru karena terlalu banyak yang ingin diucapkan, tapi tak ada ruang yang cukup aman untuk menampungnya. Dan di saat seperti it...