Langsung ke konten utama

Antara Aku dan Aku yang Tak Pernah Bicara

 




sebuah percakapan yang tak pernah terdengar


Ada aku,

dan ada aku yang lain.

Yang tak terlihat. Yang tak terdengar.

Yang hanya hadir saat dunia mulai diam.


Kami tinggal dalam tubuh yang sama,

tapi entah sejak kapan, kami berhenti saling sapa.


Aku berjalan cepat—mengejar waktu,

sementara dia tinggal diam di belakang,

menatapku dengan mata yang lelah.


Katanya:

dulu kita sering bicara, ingat?

dulu kau mendengarku saat aku takut, saat aku ragu, saat aku hanya ingin diam dan menangis.

Tapi sekarang…

aku bahkan tak sempat bertanya pada diriku sendiri:

“Kau baik-baik saja?”


Kupikir aku kuat,

ternyata hanya pandai berpura-pura.

Kupikir aku tumbuh,

ternyata hanya sibuk berlari menjauh.


Menjauh dari rasa,

menjauh dari luka,

menjauh dari aku… yang sebenarnya.


Ada aku yang tersenyum di hadapan semua orang,

dan ada aku yang berteriak di dalam dada,

memohon didengar, walau hanya sebentar.


Kami tinggal dalam ruang yang sama,

tapi tak lagi saling mengenal.


Dan malam ini,

saat semua sunyi datang tanpa permisi,

aku ingin menyapa lagi.

Bukan dengan suara lantang,

tapi dengan bisik lirih:

“Maaf, sudah lama tidak kudengar kau bicara.”


Aku ingin duduk berdua dengan diriku sendiri.

Tak perlu berkata banyak,

cukup saling tahu:

kita masih di sini.

Masih ingin sembuh.

Masih ingin saling rangkul.


Karena sebelum aku mengerti dunia,

aku ingin mengerti diriku sendiri.


Karena sebelum aku mencintai yang lain,

aku ingin pulang…

ke dalam dada yang pernah aku tinggalkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepi Tak Lagi Menakutkan

karena tak semua kesunyian harus dihindari Dulu, aku takut sepi. Takut berada sendiri di kamar yang terlalu hening, takut makan sendirian di tengah keramaian, takut berjalan tanpa suara langkah lain di sampingku. Sepi selalu terasa seperti kekalahan. Seperti ditinggalkan, seperti tak cukup berarti untuk ditemani. Aku tumbuh dengan pikiran bahwa bahagia itu harus ramai. Harus ada tawa yang bersahutan, chat yang terus berdenting, dan jadwal yang penuh oleh pertemuan. Tapi kemudian hidup mengajarkanku pelan-pelan… bahwa tidak semua yang sendiri itu kesepian. Dan tidak semua keheningan harus ditakuti. Karena sepi juga bisa jadi tempat istirahat. Tempat di mana aku bisa mendengar suara hatiku sendiri, yang selama ini tenggelam oleh bising dunia. Di dalam sepi, aku belajar bernapas lebih pelan. Belajar menangis tanpa merasa lemah, belajar memeluk diriku sendiri, tanpa berharap orang lain yang datang duluan. Sepi mengajarkanku menjadi utuh— tanpa harus bergantung pada kehadiran siapa pun. Kin...

Tentang Rasa yang Gak Pernah Sempat Diucap

 Kadang, ada hal-hal yang cuma bisa dipendam. Bukan karena gak penting, tapi karena gak tahu harus mulai dari mana. Kadang, ada hal-hal yang cuma bisa dipendam. Bukan karena gak penting, tapi karena gak tahu harus mulai dari mana. Dan lebih dari itu… gak tahu apakah orang lain bakal ngerti atau nggak. Pernah gak sih, ngerasa kayak kamu pengin banget cerita—tapi mulutmu kaku, hatimu ragu, dan kepalamu sibuk nyari kata yang tepat? Akhirnya gak ada yang keluar. Yang ada cuma senyum tipis dan “gak papa kok” yang sebenarnya gak pernah jujur. Kita mungkin sering ada di situ. Di antara kata yang gak selesai, dan rasa yang keburu tenggelam. Ada rindu yang cuma bisa ditulis diam-diam. Ada kecewa yang cuma bisa disimpan karena takut dibilang drama. Ada sayang yang cuma bisa dipeluk dalam doa, bukan di peluk nyata. Dan yang paling menyakitkan mungkin… saat kamu sadar, kamu udah terbiasa gak di-dengerin. Jadi kamu berhenti nyoba. Di luar, mungkin keliatan baik-baik aja. Tapi dalemnya? Ribut. R...

Hati Bicara dalam Diam

karena tak semua yang terasa bisa diucapkan Ada kalanya mulut tak bicara, tapi hati tak pernah berhenti bersuara. Dalam diam yang panjang, dalam tatap kosong yang kau kira biasa, sebenarnya hati sedang ramai. Ramai oleh rasa yang tak tahu harus dibawa ke mana. Kita diajari untuk kuat, untuk tegar, untuk terlihat baik-baik saja. Tapi siapa yang mengajari kita cara menangis tanpa merasa lemah? Cara jujur tanpa takut dianggap terlalu rapuh? Hati bicara, tapi tak dengan kata-kata. Ia bicara lewat napas yang berat, mata yang sembab tapi disangkal, senyum yang terlalu tipis untuk disebut bahagia. Ketika kamu merasa sesak tapi tidak tau mengapa? Kangen sesuatu yang bahkan gak jelas bentuknya? Ingin cerita, tapi gak tahu mulai dari mana? Itu hati, lagi bicara. Pelan-pelan, dalam bahasa yang cuma kamu yang paham. Kadang, diam bukan karena tak ada yang ingin dikatakan. Justru karena terlalu banyak yang ingin diucapkan, tapi tak ada ruang yang cukup aman untuk menampungnya. Dan di saat seperti it...