sebuah percakapan yang tak pernah terdengar
Ada aku,
dan ada aku yang lain.
Yang tak terlihat. Yang tak terdengar.
Yang hanya hadir saat dunia mulai diam.
Kami tinggal dalam tubuh yang sama,
tapi entah sejak kapan, kami berhenti saling sapa.
Aku berjalan cepat—mengejar waktu,
sementara dia tinggal diam di belakang,
menatapku dengan mata yang lelah.
Katanya:
dulu kita sering bicara, ingat?
dulu kau mendengarku saat aku takut, saat aku ragu, saat aku hanya ingin diam dan menangis.
Tapi sekarang…
aku bahkan tak sempat bertanya pada diriku sendiri:
“Kau baik-baik saja?”
Kupikir aku kuat,
ternyata hanya pandai berpura-pura.
Kupikir aku tumbuh,
ternyata hanya sibuk berlari menjauh.
Menjauh dari rasa,
menjauh dari luka,
menjauh dari aku… yang sebenarnya.
Ada aku yang tersenyum di hadapan semua orang,
dan ada aku yang berteriak di dalam dada,
memohon didengar, walau hanya sebentar.
Kami tinggal dalam ruang yang sama,
tapi tak lagi saling mengenal.
Dan malam ini,
saat semua sunyi datang tanpa permisi,
aku ingin menyapa lagi.
Bukan dengan suara lantang,
tapi dengan bisik lirih:
“Maaf, sudah lama tidak kudengar kau bicara.”
Aku ingin duduk berdua dengan diriku sendiri.
Tak perlu berkata banyak,
cukup saling tahu:
kita masih di sini.
Masih ingin sembuh.
Masih ingin saling rangkul.
Karena sebelum aku mengerti dunia,
aku ingin mengerti diriku sendiri.
Karena sebelum aku mencintai yang lain,
aku ingin pulang…
ke dalam dada yang pernah aku tinggalkan.
Komentar
Posting Komentar