sebuah percakapan yang tak pernah terdengar Ada aku, dan ada aku yang lain. Yang tak terlihat. Yang tak terdengar. Yang hanya hadir saat dunia mulai diam. Kami tinggal dalam tubuh yang sama, tapi entah sejak kapan, kami berhenti saling sapa. Aku berjalan cepat—mengejar waktu, sementara dia tinggal diam di belakang, menatapku dengan mata yang lelah. Katanya: dulu kita sering bicara, ingat? dulu kau mendengarku saat aku takut, saat aku ragu, saat aku hanya ingin diam dan menangis. Tapi sekarang… aku bahkan tak sempat bertanya pada diriku sendiri: “Kau baik-baik saja?” Kupikir aku kuat, ternyata hanya pandai berpura-pura. Kupikir aku tumbuh, ternyata hanya sibuk berlari menjauh. Menjauh dari rasa, menjauh dari luka, menjauh dari aku… yang sebenarnya. Ada aku yang tersenyum di hadapan semua orang, dan ada aku yang berteriak di dalam dada, memohon didengar, walau hanya sebentar. Kami tinggal dalam ruang yang sama, tapi tak lagi saling mengenal. Dan malam ini, saat semua sunyi datang t...
karena tak semua kesunyian harus dihindari Dulu, aku takut sepi. Takut berada sendiri di kamar yang terlalu hening, takut makan sendirian di tengah keramaian, takut berjalan tanpa suara langkah lain di sampingku. Sepi selalu terasa seperti kekalahan. Seperti ditinggalkan, seperti tak cukup berarti untuk ditemani. Aku tumbuh dengan pikiran bahwa bahagia itu harus ramai. Harus ada tawa yang bersahutan, chat yang terus berdenting, dan jadwal yang penuh oleh pertemuan. Tapi kemudian hidup mengajarkanku pelan-pelan… bahwa tidak semua yang sendiri itu kesepian. Dan tidak semua keheningan harus ditakuti. Karena sepi juga bisa jadi tempat istirahat. Tempat di mana aku bisa mendengar suara hatiku sendiri, yang selama ini tenggelam oleh bising dunia. Di dalam sepi, aku belajar bernapas lebih pelan. Belajar menangis tanpa merasa lemah, belajar memeluk diriku sendiri, tanpa berharap orang lain yang datang duluan. Sepi mengajarkanku menjadi utuh— tanpa harus bergantung pada kehadiran siapa pun. Kin...